Gadgetren – Sejalan dengan meruaknya wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Presiden Jokowi, Kepolisian RI kemudian berencana membentuk polisi virtual atau virtual police yang akan bertugas menegur para pelanggar UU ITE.
Namun begitu, respon Polisi atas perintah Presiden itu berdasarkan pantauan tim Gadgetren di beberapa akun pemberitaan malah membuat sebagian besar pengguna media sosial menjadi takut untuk berkomentar. Di sisi lain, pihak aktivis juga ada yang melontarkan kekhawatirannya jika polisi virtual dibentuk bakal menjadi sarana lain sebagai pembungkaman baru.
Padahal bila merujuk kepada keterangan tertulis Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (16/2), polisi virtual semacam bentuk edukasi UU ITE karena dalam pelaksanaannya di masa lalu kerap melibatkan tafsir yang sangat luas sehingga membawa korban yang tidak terduga.
Lalu apa sih sebenarnya Polisi Virtual itu dan apakah bakal membawa dampak baik dalam hal ini pengguna media sosial semakin lebih paham dengan UU ITE atau malah sebaliknya?
Firman Kurniawan Sujono selaku Pemerhati Komunikasi dan Budaya Digital menjelaskan bahwa dalam sistem manajemen, hadirnya suatu perintah atau larangan lazimnya diikuti dengan upaya penegakan, pengawasan, serta pemberian sanksi. Tanpa hal tersebut, suatu produk hukum tidak akan bekerja.
“Dalam konteks manajemen itu hal yang lazim, tapi bukan berarti saya setuju, sebab masih ada cara lain. Namun polisi atau patroli virtual bukan satu-satunya alat penegakan hukum. Terlebih jika justru menciptakan paradoks ketakbebasan atau ketakutan dalam pelaksanaannya,” ujarnya kepada tim Gadgetren.
Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa kebijakan media sosial bukan malah membatasinya, tetapi terciptanya atmosfer kebebasan yang mana semua orang bisa mengakses internet, dapat memproduksi, serta mendistribusikan konten secara etis dan bertanggung jawab.
Menurutnya dalam hal tingginya hoaks, konten asusila, atau ujaran kebencian yang telah beredar lewat media sosial tak lepas dari mekanisme pasar dan model bisnis para pengembang platform. “Selama konten-konten yang melanggar itu punya nilai ekonomi, maka akan marak konten semacam itu beredar,” terangnya.
Firman melanjutkan terlebih ketika pengembang platform menikmati iklan dari konten yang banyak penggemarnya, maka tidak proporsional kalau hanya masyarakat yang jadi sasaran pengawasan.
Dalam upaya menciptakan suasanya nyaman dan produktif di tengah tingginya penggunaan media sosial maupun aplikasi pesan lainnya, ia melihat dapat dibangun lewat literasi digital masyarakat.
“Pengembangan sistem etis yang memungkinkan konten-konten yang melanggar memperoleh sanksi etis dari masyarakat. Dan yang terpenting menagih tanggung jawab pengembang platform, ketika perangkatnya banyak digunakan untuk produksi dan distribusi konten ilegal,” tutupnya.
Tinggalkan Komentar