Gadgetren – Pandemi COVID-19 membuka dimensi baru dalam dunia digital Tanah Air. Kini semakin banyak terjadi pencurian data digital lantaran tingkat kompetensi keamanan digital Indonesia yang masih kurang.
Hingga saat ini, ternyata ranah digital masih didominasi oleh teknik kejahatan rekayasa sosial atau menyerang sisi kelemahan psikologis manusia. Oleh karenanya, diperlukan langkah mandiri dari masing-masing pihak baik konsumen maupun penyelenggara sistem dan tak lupa kolaborasi dari berbagai pihak akademik, perusahaan digital, pemerintah, dan teknisi terkait.
Hal ini pun sangat dicermati oleh Ir. Tony Seno Hartono, M.Ikom selaku Adjunct Researcher Center for Digital Society (CfDS) UGM yang mengungkapkan bahwa hal ini dipengaruhi oleh individu masyarakat yang “kaget” mengalami perubahan kultur yang sangat besar ditengah pandemi.
“Tak bisa dipungkiri sifat terbuka dan komunikasi harus sedikit diredam. Kita harus sadar, privasi harus kritikal. Untuk menjadi aman dan lebih selamat di dunia virtual ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, aspek psikologis, data, dan teknis,” ujarnya kepada tim Gadgetren saat konferensi virtual.
Ia menekankan kembali bahwa faktor psikologis menjadi yang paling mudah dimanipulasi di ruang transaksi maupun keamanan data digital. Biasanya manipulasi psikologis ini dilakukan untuk suatu keperluan jahat.
“Paling mudah itu manipulasi dari sisi kelemahan manusianya. Misalnya kalau orang mau minta passwordnya, kirim spam untuk memperbaiki password dengan manipulasi nama perusahaan ternama dan juga penggunaan Wi-Fi gratis bisa diambil user dan password pengguna,” jelasnya.
Tak hanya itu saja, manipulasi digital juga kerap terjadi di dalam toko belanja online. Ia mengingatkan bahwa konsumen harus pintar memilih pelapak yang benar. Hal ini bisa dilihat dari sekian banyak pembeli dan penjualan yang berhasil dilakukan.
Kemudian dari segi data konsumen diminta untuk jangan mudah memberikan data pribadi. Misalnya seperti username dan password, jangan menggunakan nama asli maupun tanggal lahir dan bila perlu hanya data anonim saja dan sulit ditebak.
Tak ketinggalan dan paling penting adalah jangan memberikan One Time Password atau dikenal OTP sebagai kunci konsumen untuk melakukan transaksi.
“OTP jangan dikasih ke orang lain. Kemudian hindari komunikasi di luar platform karena tidak ada satu lagi yang memonitor. Terakhir jangan mudah percaya pada siapapun, selalu verifikasi apa yang dibagikan dan jangan mudah percaya informasi yang tidak umum,” tutupnya.
Tinggalkan Komentar