Gadgetren – Selain ingin mendaftarkan aksara daerah ke IDN, Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI) dalam waktu dekat dikabarkan akan membuat keyboard beraksara daerah di handphone agar semakin dekat kepada masyarakat khususnya generasi muda.
Rencana ini merupakan bagian dari tujuan jangka panjang PANDI untuk melestarikan warisan budaya Nusantara. Namun begitu, PANDI melalui Prof. Dr. Yudho Giri Sucahyo selaku Ketua Dewan Pengurus mengungkapkan bahwa pihaknya bersama pegiat aksara harus mengalihkan semua aksara daerah ke versi unicode.
“Aksaranya yang mana, yang bisa jawab teman-teman pegiat aksara daerah, bentuk digital itu kemudian dihasilkan di smartphone. Soal sosialisasi keyboard aksara daerah ini mari mulai sama-sama hadirkan dengan prosesnya digitalisasi, proses pendidikan, proses komunikasi, dan seterusnya. Intinya kami akan selalu siap mendampingi rekan-rekan penggiat aksara,” ujarnya kepada tim Gadgetren.
Sementara itu Andi Alfian Mallarangeng selaku Ph.D. Yayasan Lontaraq Nusantara yang sebelumnya pernah terjun di dunia politik ternyata sudah menggeluti aksara Lontaraq dari Bugis, Makassar sejak tahun 1995.
“Manfaat true type phone harus menggunakan sistem cetak satu-satu, akan justru lebih mudah sekali. Tahun 1996 aksara Lontaraq masuk unicode yang menjadi aksara pertama digital baru kemudian aksara Jawa dan Bali 2005 masuk dalam unicode,” tutur Andi.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Oman Fathurahman selaku Principal Investigator Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA) dan Pengampu NGARIKSA.
Ia menambahkan bahwa paradigma para pegiat aksara daerah sangat mengutamakan nilai empati yang mana dikembalikan kepada pemilik naskah mau membuka atau tidak karena naskah merupakan bagian properti pribadi dan keluarga sebagai warisan dari kakek buyut.
“Konstitusi regulasi jangan seperti kolonial merampasnya itu disembunyikan jadinya. Kalau di Jepang itu wajib diserahkan ke Negara. Sementara di Indonesia hanya ada UU pemajuan kebudayaan yang sampai pada tahap untuk diakuisisi tapi belum pada tahap mewajibkan,” terang Oman.
Dengan begitu menurutnya perlu ada kontrak perjanjian yang tidak boleh ada niat eksploitasi antara kedua belah pihak dalam hal ini pelaku pegiat aksara daerah dan pemilik naskah. Perjanjian tersebut merupakan bagian dari program digitalisasi aksara Nusantara yang tidak merusak dan mengambil naskah itu sendiri.
Sementara pegiat aksara daerah berkewajiban melakukan preservasi dan hasil digital harus diberikan kepada pemilik naskahnya. Bagi Oman, terkait kolaborasi dengan PANDI untuk pendaftaran ke IDN dan keyboard aksara perlu dilakukan pembicaraan mengenai hak cipta manuskrip.
“Meskipun regulasi belum mewadahi tapi sekarang ini yang bisa kita lakukan, ketika naskah itu bisa didigitalkan di online ada disclaimer ini hanya untuk kepentingan penelitian, begitu ada penyimpangan bisa diadukan secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku,” papar Oman.
Dr. Munawar Holil, M.Hum selaku Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menuturkan bahwa usulan PANDI untuk menjadikan aksara daerah lebih privat ke dalam penggunaan handphone merupakan tantangan bersama untuk mendekatkan ke masyarakat dan membutuhkan dukungan pemerintah.
“Ada proses intensif, sehingga aksara kita semakin semarak. Hak cipta, kita perlukan untuk mengkreasikan font baru untuk menyebarluaskan aksara-aksara itu, tinggal teman-teman merumuskan. Saya rasa dalam 5-10 tahun ke depan akan menjadi lebih baik kalau kita sama-sama dengan PANDI,” tutupnya.
Tinggalkan Komentar